RUU Revisi UU No.8 Tahun 2029: Membangun Tata kelola Haji dan Umroh Yang Adil, Proporsional, dan Membela Jamaah

Oleh: Ulul Albab (Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri)

insanimedia.id , – Pemerintah dan DPR dalam waktu dekat ini diagendakan akan segera membahas Revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Seolah terdengar teknokratis dan administratif. Namun sejatinya, revisi ini akan berdampak langsung pada jutaan calon jamaah, sekaligus ribuan pelaku usaha penyelenggara ibadah Haji dan Umroh. Karena itulah, dalam forum Media Gathering yang diadakan AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia) di Jakarta 1 Agustus lalu, sikap kritis dan konstruktif disuarakan dengan lugas: regulasi ini harus adil, proporsional, dan berpihak pada jamaah.

Perlu ditegaskan berkali-kali agar tidak terjadi salah paham, bahwa AMPHURI tidak sedang menolak perubahan, tetapi mengingatkan: jangan sampai regulasi dibuat hanya dari menara gading birokrasi,tanpa mendengardenyut nadi pelaku lapangan dan harapan jamaah. Dalam kajian akademik pasal demi pasal yang saya lakukan, jujur saya menemukan banyak kejanggalan dan inkonsistensi di sana-sini. Tetapi pada acara gathering kemaren saya hanya mengungkapkan tiga isu krusial sebagai sampel untuk menjadi sorotan, dan ketiganya layak menjadi perhatian publik secara luas.

Kuota Haji Khusus: Hati-Hati dengan Pasal Karet

Salah satu pasal paling kontroversialadalah Pasal 8 ayat (4) yang berbunyi:“Kuota haji khusus paling tinggi 8%.” Sepintas terdengar biasa saja. Tapi frasa “paling tinggi” itulah yang menjadi masalah. Diksi ini membuka ruang manipulasi dan penafsiran bebas. Hari ini bisa 8%, besok bisa 5%, bahkan mungkin 0%, tanpa mekanisme evaluatif yang adil.Ini bukan soal angka semata, tapi soal kepastian hukum dan hak jamaah untuk memilih layanan haji secara sah dan bermartabat.

Selama lebih dari satu dekade, kuota haji khusus memang konsisten di angka 7–8% dan dikelola oleh PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) secara profesional. Tidak ada kasus kegagalan massal atau penyimpangan sistemik yang bisa dijadikan alasan pembatasan. Jadi, mengapa harus ada pasal karet?

Baca Juga :  Birokrasi yang Melayani, Tapi Lupa Memberdayakan?

AMPHURI menawarkan solusi rasional: ubah menjadi “sekurang-kurangnya 8%”. Dengan begitu, negara tetap bisa mengawasi, dan pelaku usaha (PIHK) dan jamaah Haji Khusus tidak dibiarkan dalam ketidakpastian.

Umrah Mandiri: Niat Baik yang Bisa Disalahgunakan

RUU ini juga membuka celah baru dalam Pasal 86, yang memperkenalkan konsep “umrah mandiri.” Sekilas terdengar inklusif memberi ruang bagi masyarakat untuk menyelenggarakan perjalanan ibadah sendiri. Tapi dalam praktiknya, istilah “mandiri” ini justru berpotensi (bahkan sebetulnya sudah nyata-nyata terjadi) melahirkan praktik percaloan, layanantidak resmi,dan penyelenggaraanumrah tanpa jaminan perlindungan bagi jamaah.

AMPHURI mengingatkan bahwa jamaah itu bukan subjek yang harus bertarung sendiri dipasar bebas. Betapapun mereka adalah warga negara yang haknya untuk mendapat layanan aman dan berkualitas harus dilindungi. Dalam konteks itu, PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) yang resmi dan terdaftar adalah jaminan profesionalisme dan akuntabilitas.

Jika negara membuka jalan“mandiri” tanpa batasan, maka pertanyaanya adalah: siapa yang bertanggung jawab jika jamaah terlantar? Siapa yang menjamin kepastian akomodasi, transportasi, atau visa?

Jawabannya: tidak ada. Karena itulah AMPHURI mendesak agar istilah “mandiri” dihapus dari batang tubuh RUU. Bila tetap dipaksakan, maka negara sama saja melegitimasi penyelenggaraan liar.

HilangnyaPengakuanFormalterhadapAsosiasi

Isu ketiga yang tak kalah penting adalah hilangnya pengakuan terhadap asosiasi penyelenggara haji dan umrah dalam draf RUU. Padahal, selama ini asosiasi seperti AMPHURI justru memainkan peran penting dalam pengawasan internal, penyusunan standar layanan, serta menjembatani dialog antara pelaku usaha dan pemerintah.

Tanpa pengakuan hukum, asosiasi menjadi aktor pinggiran. Padahal dalam prinsip good governance, keberadaan masyarakat sipil dalam kebijakan publik adalah syarat mutlak. Apalagi asosiasi bisa menjadi penyeimbang terhadap potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator.

Baca Juga :  Kado Istimewa di Tahun Baru Islam: Sekolah Islam Lampaui Sekolah Negeri

AMPHURI mengusulkan agar dimasukkan pasal baru yang mewajibkan pemerintah dan badan penyelenggara melibatkan asosiasi dalam proses kebijakan, pengawasan, dan evaluasilayanan.Inibukantuntutanelitis,tetapituntutanlogisuntukmenciptakantatakelola haji dan umrah yang sehat dan partisipatif.

JanganPadamkanSuaraJamaahdanSuaraPublik

RUU ini menyangkut hal yang amat sakral: ibadah yang melibatkan emosi, spiritualitas, dan kepercayaan publik. Karena itu, pendekatan regulatif tidak boleh hanya bernuansa administratif dan sentralistik. Ada dimensi kemanusiaan dan hak sipil yang harus dijaga.

AMPHURI menegaskanbahwa mereka, para jamaah, bukan meminta keistimewaan, tetapi menuntut regulasi yang berpihak pada jamaah bukan pada dominasi birokrasi atau skema komersial yang tak bertanggung jawab.

Sudah saatnya publik dan media ikut mengawal pembahasan RUU ini secara kritis dan objektif. Jamaah haji dan umrah adalah warga negara, bukan konsumen yang bisa dibatasi seenaknya atau dibiarkan terombang-ambing dalam layanan tidak pasti.

Kalau negara ingin menjaga martabat penyelenggaraan ibadah, maka dengarkanlah suara yang datang dari lapangan. Dari para penyelenggara yang bertahun-tahun menekuni pelayanan ibadah, dan dari jamaah yang ingin berangkat dalam tenang dan khusyuk.

Jakarta,2Agustus2025

PenulisNaskah: Ulul Albab, Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri

WA:081331350191.

(Catatan: Naskah ini ditulis untuk melengkapi pemberitaan tentang media gathering Amphuri yang sudah tayang di berbagai media hari ini, 2 agustus 2025. Semoga bermanfaat).