insanimedia.id – Lebih dari sekadar statistik rendah tentang minat baca, Indonesia hari ini menunjukkan gejala yang lebih parah: sebuah kondisi “alergi membaca” akut, di mana masyarakat dan, ironisnya, otoritas tertentu menunjukkan resistensi hingga ketakutan terhadap praktik dan produk literasi.
Alergi ini bukan hanya terlihat dari minimnya waktu yang dihabiskan untuk membolak-balik halaman buku, tetapi juga terwujud dalam sebuah praktik yang meresahkan: menjadikan buku sebagai barang bukti tindak kriminal di kepolisian.
Epidemi Malas Baca: Sebuah Fenomena Kultural
Data-data yang sering dikutip tentang minat baca di Indonesia selalu menempatkan negeri ini di peringkat bawah dunia. UNESCO pernah menyebut minat baca kita hanya 0,001%, yang berarti dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar rajin membaca. Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) pun menunjukkan skor literasi membaca siswa Indonesia yang jauh di bawah rata-rata internasional.
Angka-angka ini adalah cermin dari masalah struktural dan kultural yang mengakar. Pertama, budaya lisan (berbicara, mendengarkan) jauh lebih dominan ketimbang budaya tulis (membaca, menulis). Kedua, infrastruktur pendukung literasi, seperti perpustakaan dan akses buku yang terjangkau, masih timpang. Ketiga, dan mungkin yang paling penting, adalah pergeseran fokus.
Data menunjukkan, ironisnya, meskipun minat baca buku rendah, penggunaan gawai dan waktu menatap layar di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Minat baca berganti menjadi minat tonton dan minat bersosial media—sebuah ruang yang seringkali dipenuhi dengan konten instan, dangkal, dan terkadang disinformasi.
Alergi membaca ini melahirkan konsekuensi serius. Masyarakat yang malas membaca cenderung rentan terhadap penyebaran informasi palsu (hoaks), mudah terprovokasi, dan minim kemampuan berpikir kritis.
Mereka cenderung menelan mentah-mentah informasi tanpa memprosesnya, tanpa membandingkannya dengan pengetahuan lain, dan tanpa mencurigai motif di baliknya. Singkatnya, alergi membaca menciptakan masyarakat yang mudah dikendalikan.
Puncak Alergi: Buku di Meja Barang Bukti
Namun, puncak dari alergi ini terjadi ketika objek literasi itu sendiri, yaitu buku, dianggap sebagai ancaman yang setara dengan senjata. Belakangan, dalam beberapa kasus penangkapan aktivis pasca-demonstrasi, kepolisian menyita sejumlah buku dan memajangnya sebagai barang bukti tindak pidana.
Judul-judul yang disita pun beragam, mulai dari karya-karya filsafat kritis seperti “Karl Marx” karya Franz Magnis Suseno, “Anarkisme” karya Emma Goldman, hingga panduan aksi massa, bahkan karya sastra yang pernah dilarang di era Orde Baru. Buku-buku ini diperlakukan sama dengan batu, spanduk, atau bahkan bom molotov—benda-benda yang secara fisik bisa digunakan untuk melakukan kekerasan atau merusak.
Tindakan menjadikan buku sebagai barang bukti dalam kasus perusakan atau kekerasan adalah sebuah preseden buruk yang sangat berbahaya. Berikut implikasi mendalamnya:
1. Kriminalisasi Ide dan Pemikiran: Buku adalah media gagasan. Ia berisi teori, kritik, dan refleksi atas realitas. Mengkriminalisasi buku, sama artinya mengkriminalisasi pikiran yang kritis, revolusioner, atau yang tidak sejalan dengan narasi dominan. Ini adalah bentuk sensor halus yang memenjarakan kebebasan berpikir, jauh sebelum sebuah gagasan diwujudkan menjadi tindakan kriminal.
2. Mengancam Kebebasan Akademik: Banyak buku yang disita adalah karya-karya yang lumrah dipelajari di kampus, di fakultas ilmu sosial, filsafat, atau hukum. Jika buku-buku ini dilarang atau dianggap bukti kejahatan, maka ini secara langsung mengancam iklim akademik, di mana pikiran dan pemikiran harus diuji dan diperdebatkan secara bebas.
3. Mengukuhkan Stigma Anti-Intelektual: Sikap polisi yang menyita buku-buku tersebut mengesankan bahwa membaca dan berpengetahuan adalah aktivitas yang mencurigakan. Ini mengirimkan pesan kepada publik bahwa aktivitas intelektual bisa disamakan dengan ancaman keamanan, yang pada akhirnya semakin memperparah “alergi membaca” di masyarakat.
4. Kontradiksi Logika Hukum: Tindak pidana dalam hukum positif berfokus pada perbuatan (delik formil), bukan sekadar pada latar belakang pikiran atau bacaan seseorang. Seseorang dihukum karena merusak fasilitas umum, misalnya, bukan karena ia membaca buku tentang anarkisme. Buku bisa menjadi bagian dari motivasi atau latar belakang, tetapi tidak bisa secara hukum menjadi alat yang secara langsung menyebabkan tindak pidana fisik.
Melawan Alergi dengan Pencerahan
Kekhawatiran terhadap ide-ide ‘berbahaya’ seharusnya tidak dilawan dengan penyitaan buku dan pemborgolan ide. Cara paling ampuh untuk melawan gagasan yang dianggap keliru adalah dengan gagasan yang lebih baik.
Untuk melawan kebodohan dan pemikiran sempit adalah dengan memfasilitasi lebih banyak literasi, diskusi, dan berpikir kritis.
Negara ini harus sembuh dari alergi membaca. Penyembuhannya bukan dengan melarang atau menyita, tetapi dengan memberikan akses seluas-luasnya pada berbagai jenis buku dan mempromosikan budaya membaca sebagai pertahanan diri paling fundamental.
Jika masyarakat Indonesia tetap alergi membaca, maka kita akan terus menjadi lahan subur bagi hoaks, kebencian, dan manipulasi, serta melestarikan ketakutan irasional terhadap kata-kata yang terhimpun dalam sebuah buku. Membaca adalah cahaya, dan kepolisian tidak seharusnya menjadi garda terdepan yang memilih kegelapan.






