Larung Sesaji Akulturasi Budaya dan Islam di Blitar yang Terus Lestari di Pantai Serang

BLITAR– Larung sesaji yang dilakukan pada awal Muharam merupakan akulturasi antara budaya dan  Islam yang terus lestari. Salah satu pelestari larung sesaji warga Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar.

Masyarakat Desa Serang memang dianugerahi gugusan pantai yang memanjakan mata, yakni Pantai Serang. Tradisi ini terus dilestarikan oleh Warga Desa Serang untuk melestarikan budaya. Dalam tradisi ini satu kepala sapi dilarung ke laut dengan sejumlah tumpeng hasil bumi. 

“Kami ingin agenda ini dikenal oleh masyarakat Kabupaten Blitar dan se-nusantara. Bisa melihat ke sini langsung, jadi pariwisata di Kabupaten Blitar bisa meningkat lagi,” kata Kepala Desa Serang, Dwi Handoko, Selasa (9/7/2024). 

Konon ceritanya, tradisi larung sesaji ini pertama kali dilakukan oleh Atmaja atau Atmo Wijoyo. Ia merupakan salah satu prajurit dari Kerajaan Mataram yang merupakan anak buah Pangeran Diponegoro. 

Dikisahkan Atmaja melarikan diri ke Pantai Tambakrejo yang berdekatan dengan Pantai Serang. Disana prajurit Pangeran Diponegoro itu melakukan tasyakuran yang kemudian dikenal sebagai larung sesaji.

Tradisi ini digelar dalam rangka memperingati hari 1 suro. Selain melarung kepala sapi, warga juga membawa 7 tumpeng hasil bumi. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada Tuhan bahwa manusia tidak hidup sendiri, melainkan berdampingan dengan hal gaib, dan alam semesta. 

Tradisi larungan ini dilakukan bergantian antara Pantai Tambakrejo dan Pantai Serang. Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu itu pun kini terus dilestarikan. 

“Kami juga mengenalkan menuju 7 abad kabupaten Blitar, kami dengan odp mempersembahkan sumbangsih berupa hasil bumi dan umkm. Diwujudkan dalam 7 tumpeng di larung sesaji,” imbuhnya. 

Bagi masyarakat Desa Serang Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar tradisi ini merupakan hal yang wajib dilakukan. Ini merupakan salah satu cara masyarakat untuk bersyukur kepada tuhan atas melimpahnya hasil tangkapan ikan. 

“Larung saji itu simbol desa serang, wujud rasa syukur kepada Tuhan YME dengan simbol-simbol hasil panen pertanian desa serang. Diwujudkan dengan tumpeng lanang dan tumpeng wadon, yg itu berasal dari hasil pertanian kami,” kata Dwi Handoko, Kades Serang. 

Kini Larung sesaji bukan hanya jadi sekedar tradisi, namun juga jadi event tahunan yang bisa mendatangkan ribuan wisatawan. “Secara simbolis dari dulu, leluhur setiap suro mewujudkan rasa syukur dengan larung ke laut, pantai serang,” ujarnya.