Jangan Kaget, Jika Suatu Saat Negara Akan Dikelola Oleh Algoritma

Oleh: Ulul Albab Akademisi Administrasi Publik; Ketua ICMI Jawa Timur

Ulul Albab Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur

insanimedia.id , – Sekali lagi, Jangan kaget. Suatu saat kelak, negara bisa saja dikelola oleh algoritma. Keputusan anggaran, distribusi bantuan sosial, hingga penilaian kinerja aparatur sipil negara (ASN) tidak lagi diambil oleh manusia, tapi oleh mesin yang belajar dari data. Pemerintahan tanpa meja, birokrasi tanpa tanda tangan basah, bahkan pemimpin yang berkonsultasi bukan pada staf ahli, tapi pada dashboard berbasis AI.

Apakah ini fiksi ilmiah? Bukan. Ini sudah terjadi. Di Estonia, hampir seluruh layanan publik sudah otomatis. Di Korea Selatan, sistem prediktif telah digunakan untuk memetakan kebutuhan publik. Di Singapura, AI membantu mengidentifikasi risiko sosial jauh sebelum terjadi. Maka pertanyaannya bukan lagi “mau atau tidak,” tetapi “siap atau belum.”

Administrasi Publik Harus Berubah

Model administrasi publik yang kita kenal sejak masa Weber, yang bertumpu pada hirarki, prosedur, dan netralitas aparatur, kini sedang menghadapi ujian paling serius sejak reformasi birokrasi diperkenalkan. Saat ini mesin kecerdasan buatan (AI) setidaknya menuntut kita memikirkan ulang tiga hal penting dalam tata kelola negara:

Pertama; Efisiensi versus Etika. Mesin bisa bekerja lebih cepat dari manusia. Tapi, kita tentu ragu apakah ia bisa mempertimbangkan keadilan sosial sebagaimana yang kita rasa? Bisa kah algoritma merasakan empati pada warga miskin yang datanya tidak sempurna?

Kedua; Transparansi versus Kompleksitas. Sistem berbasis machine learning kerap kali menjadi “kotak hitam” (black box). Output-nya bisa presisi, tapi siapa bisa menjelaskan logika keputusannya?

Ketiga; Partisipasi versus Otomasi. Jika semua keputusan penting bisa diproses oleh data, lalu di mana tempat bagi musyawarah, dialog publik, dan suara rakyat?

Bukan Hanya Teknologi, Tapi Tata Nilai

Perkembangan mesin AI saat ini sudah sangat-sangat mengagumkan. AI sekarang bukan lagi sekadar alat bantu teknis. Tetapi sudah menjadi entitas baru yang beroperasi di ruang pengambilan keputusan. Maka, pertanyaannya bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal tata nilai. Kita harus bertanya: AI ini berpihak pada siapa? Apakah ia memperkuat demokrasi atau justru mempercepat lahirnya otokrasi digital?

Di sinilah tantangan besar administrasi publik: bagaimana merumuskan ulang governance yang tidak hanya efisien dan berbasis digital, tapi juga etis, adil, dan manusiawi.

Pesan Buat Kampus Jurusan Administrasi Publik

Di tengah perkembangan spektakuler AI ini, izinkan saya menyampaikan pesan yang cukup serius kepada para penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya yang menaungi jurusan administrasi publik.

Janganlah kita puas dengan kurikulum yang hanya mengulang teori birokrasi klasik. Jangan hanya mengajarkan manajemen anggaran dan pengantar kebijakan publik, lalu merasa sudah cukup. Bahkan jika saat ini pun kita sudah melakukan reformasi kurikulum dengan memasukkan berbagai paradigma baru, itupun sepertinya belum cukup untuk menghadapi geliat mesin AI. Maka Jika tidak berbenah, jurusan ini akan ditinggal oleh zaman dan calon mahasiswa.

Sudah saatnya kampus, khususnya jurusan administrasi publik, berbenah secara serius. Dan arah perubahan dan transformasi yang dituju harus jelas yaitu membuat jurusan ini relevan bahkan kompatibel dengan perkembangan AI. Beberapa catatan penting, menurut saya, yang perlu dikembangkan antara lain:

Pertama; Menambahkan mata kuliah Etika AI dalam Pemerintahan, Algoritma dan Keadilan Publik, atau Governing with Data. Kedua; Mengajak mahasiswa berpikir kritis tentang masa depan negara digital. Ketiga; Menggandeng praktisi teknologi dan kebijakan publik dalam pengajaran lintas disiplin. Keempat; Menjadikan laboratorium data sebagai bagian dari laboratorium administrasi. Karena sekarang Transformasi bukan lagi pilihan. Tetapi adalah keharusan.

Negara Harus Dijaga oleh Nurani

Jika negara benar-benar akan dikelola oleh algoritma, maka tugas manusia bukan menyerahkan semua kepada mesin, melainkan memastikan bahwa algoritma itu adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat kecil. Nurani publik tidak boleh lenyap di balik dashboard digital.

Kita boleh mengizinkan mesin berpikir untuk kita, tapi jangan pernah membiarkannya memutuskan tanpa kita. Dan inilah PR (pekerjaan rumah) yang serius bagi para pengelola kampus jurusan administrasi public, mulai dari rektor, dekan, ketua jurusan, dosen, dan bahkan mahasiswa dan alumni sebagai kontributor riil