Edisi (1) Trilogi Refleksi Keris Penawar Budaya Asing Era Digital (Studi Antropologi Cagar Budaya Tak Benda Berdampak Kasih Sayang)

Oleh : Prof. Dr. H. M. Dimyati Huda, M.Ag.

insanimedia.id , – Tulisan ini disampaikan dalam pengukuhan Guru Besar pada Bidang Antropologi Sosial Agama

Kegelisahan Akademik

Kita pahami bersama, keris merupakan. warisan budaya tak benda yang telah diakui UNESCO sejak tahun 2005 sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Tidak sekadar senjata tradisional keris menyimpan filosofi luhur terkait spiritualitas, etika hingga struktur sosial masyarakat Jawa dan Nusantara secara luas.

Namun di era digital, makna filosofis keris mengalami distorsi akibat penyajian yang dangkal di media sosial dan komersialisasi visual yang mengaburkan nilai-nilai aslinya, Fenomena ini kian menguat ketika keris lebih sering diasosiasikan sebagai objek mistik eksotis atau koleksi estetika, alh-ath simbol kearifan budaya lokal yang sarat makna.

Nalar Skeptis Budaya Lokal di Era Digital

Generasi hari ini tidak sedang bicara tentang kembali ke masa lalu, tetapi tentang bagaimana masa lalu bisa memberi cahaya untuk masa depan.

Budaya lokal, dengan segala simbol dan nilai yang dikandungnya, bisa menjadi kompas yang menuntun arah di tengah pusaran perubahan zaman. Tapi itu hanya mungkin jika generasi muda memilih untuk peduli, menggali, dan merawatnya-bukan sekadar menjadi penonton.

Di titik inilah, secara serentak perlu membangun kesadaran baru: bahwa menjadi modern tidak berarti harus melupakan akar. Justru, semakin tinggi ingin tumbuh, semakin dalam harus berakar, dan akar itu tak lain adalah budaya kita sendiri.

Haruskah Modernisasi Budaya Lokal?

Dalam dunia yang semakin cepat berubah, hanya bangsa yang mampu merawat akar budayanya yang akan mampu berdiri tegak dan dihormati di tengah pergaulan global. Oleh sebab itu, pelestarian budaya bukan pilihan, melainkan keharusan yang harus dilakukan secara sadar, sistematis, dan berkelanjutan.

Pelestarian budaya tidak hanya menjadi tugas lembaga negara, tetapi menjadi tanggung jawab kolektif seluruh lapisan masyarakat. Tanpa keterlibatan masyarakat secara aktif, budaya hanya akan menjadi artefak mati yang terasing di museum. Sebaliknya, budaya akan hidup ketika menjadi bagian dari identitas dan perilaku masyarakat sehari-hari. Disinilah yang disebut modernisasi budaya lokal

“Keris Efek” dan Distorsi Budaya Lokal

Keris harus dikenalkan melalui narasi-narasi baru yang lebih kontekstual dan dialogis dengan zaman. Misalnya, melalui film dokumenter, buku cerita anak hingga pameran interaktif yang mengajak generasi muda berpartisipasi aktif.

Pelestarian keris juga menuntut kolaborasi antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, empu pembuat keris dan sektor swasta. Tanpa sinergi lintas sektor, pelestarian hanya menjadi simbol formal tanpa kekuatan transformatif. Keris harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari kehidupan yang hidup dan bermakna. Oleh karena itu, penting untuk membangun kembali kesadaran budaya yang memihak pada pelestarian nilai lokal.

Keris dan Pergeseran “Paradigma Baru”

Keris tidak semata warisan masa lalu, tetapi juga sumber refleksi masa depan tentang bagaimana masyarakat memahami diri, sejarah, dan identitasnya dalam dunia yang terus berubah.

Dengan demikian, memahami pergeseran mak keris bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi tentang bagaimana bangsa ini mengelola perubahan dan mempertahankan martabat budayanya dalam dinamika dunia.

Refleksi Keris: Trilogi Penawar Budaya Asing di Era Global

Konsep Trilogi Keris

Relasi tiga dimensi tersebut-Tuhan, alam, dan manusia kasih sayang menjadi simpul pengikat. Kasih sayang dalam budaya keris bukan sekadar emosi, tetapi etika hidup. Kasih sayang ini menjadi simbol bahwa kekuatan tidak lahir dari kekerasan melainkan dari penghormatan dan cinta kepada seluruh ciptaan. Refleksi filosofis relasi tuhan, manusia dan alam yang dihubungkan oleh kasih sayang tergambar di bawah ini

Trilogi Filosofi Keris di Era Digital Trilogi nilai keris yang berakar pada kesadaran spiritual ekologis dan humanistik menjadi tantangan penting dalam menghadapi arus homogenisasi global

Historisitas Keris: Pembentuk dan Pembawa Perilaku Luhur

Historitas keris bermula dari masa pra-Islam di Nusantara, di mana keris tidak hanya menjadi alat pertahanan diri tetapi juga simbol kekuasaan dan spiritualitas.

Fenomena ini dapat dianalisis dengan pendekatan antropologi simbolik yang dikembangkan oleh Clifford Geertz, bahwa manusia hidup dalam jejaring makna dan simbol.

Dalam ajaran moral, keris menekankan pada keharmonisan manusia dengan alam dan sesama manusia. Bersambung >>>>>>>>>