Renungan Fajar adalah ajakan untuk memulai hari dengan membuka hati—mengenali diri untuk mengenali Allah. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” — barangsiapa mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dan di keheningan fajarlah, waktu paling tepat untuk meneguhkan kebiasaan-kebiasaan baik itu, agar kita senantiasa bersyukur atas berbagai nikmat-Nya yang tak terhitung bahkan oleh mesin AI tercanggih sekalipun.
“Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam yang akhir, lalu berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita termasuk orang yang terbangun di sepertiga malam terakhir, berbahagialah. Itu bukan karena alarm. Bukan karena rutinitas. Tapi karena Allah memilih kita untuk bangun di waktu yang paling mulia. Di saat kebanyakan manusia masih terlelap, Allah “turun” mendekati hamba-Nya, membuka ruang pengabulan doa, ampunan dosa, dan limpahan kasih sayang.
Bangun di waktu ini menjadi kebiasaan orang-orang Sholeh, yang menjadikan waktu ini sebagai sesi pribadi antara kita dan Allah.
Perspektif Ilmiah: Kekuatan Spiritual Sepertiga Malam
Dari sudut ilmu kedokteran dan psikologi, sepertiga malam terakhir (antara pukul 02.00–04.30 pagi) adalah waktu gelombang otak dalam fase tidur mulai berubah dari dalam ke luar. Hormon kortisol (yang memicu kewaspadaan dan energi) mulai meningkat. Bagi yang bangun dan melakukan aktivitas spiritual pada waktu ini, fokus mentalnya justru lebih tinggi dan ketenangan batinnya lebih dalam (Walker, Why We Sleep, 2017).
Dalam studi neuropsikologi, ibadah yang dilakukan di waktu sunyi seperti tahajjud justru memperkuat konektivitas antara pusat emosi dan pusat perhatian di otak. Maka tidak heran, orang yang rajin tahajjud biasanya lebih stabil secara emosional dan lebih jernih dalam berpikir. (Kraf, 2021, Spiritual Neuroscience Journal)
Panggilan yang Sering Kita Abaikan
Sayangnya, banyak dari kita meremehkan waktu ini. Kita menundanya, menidurkan diri lebih nyenyak, atau bahkan melupakannya sama sekali. Padahal, jika kita tahu siapa yang sedang “menunggu” di langit dunia setiap malam, tak mungkin kita memilih melanjutkan tidur.
Sepertiga malam terakhir adalah momen penuh rahmat dan peluang. Tidak butuh banyak kata, cukup berbisik: “Ya Allah, terimalah aku.” Itu saja cukup untuk mengetuk pintu-Nya. Dan Allah tidak seperti manusia, Dia tidak lelah mendengar, tidak malas memberi, dan tidak pernah menolak hamba yang datang dengan hati yang pasrah menyerah dan menghamba.
Mari Bangun, Bukan Sekadar Terbangun
Jika malam ini (atau besok) Allah bangunkan kita, jangan langsung ambil HP. Jangan buka notifikasi dunia. Buka hati dulu, angkat tangan ke langit, dan sambut panggilan-Nya.
Berbahagialah jika kita bisa bangun. Tapi lebih berbahagialah jika kita tahu, untuk apa kita dibangunkan.
“Dan pada sebagian malam, bangunlah untuk shalat tahajjud sebagai ibadah tambahan bagimu. Semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’: 79)
Catatan Akhir: Sahabat pembaca, jika Anda pernah merasa ingin memperbaiki diri, ingin lebih dekat kepada Allah, tapi tidak tahu harus mulai dari mana: mulailah dari bangun di sepertiga malam terakhir. Di sana, langit terbuka. Dan doa Anda adalah suara hamba yang paling Allah rindukan.