Sertifikasi Pembimbing Haji yang Menyulitkan Kyai

Oleh: Ulul Albab Ketua Litbang DPP AMPHURI

Ulul Albab - Ketua ICMI Orwil Jawa Timur dan Kabid Litbang DPP Amphuri

insanimedia.id – Kyai itu diam. Di ujung sambungan telepon, saya menunggu jawabannya. Beliau baru saja mendampingi rombongan jamaah umrah yang sebagian besar dari pelosok tapal kuda Jawa Timur. “Saya belum sempat ikut sertifikasi, ustad,” katanya lirih. “Bukan tidak mau. Tapi waktunya, tenaganya, biayanya, tidak sanggup saya kejar,”

Beliau bukan orang sembarangan. Sudah 15 kali membimbing jamaah haji. Dari masa tenda Mina belum ber-AC sampai masa sekarang yang semua serba digital. Tapi kini, beliau dan ratusan kyai lain, terancam tidak bisa lagi mendampingi jamaah haji, hanya karena belum tersertifikasi secara formal.

Regulasinya memang ada: pembimbing haji harus bersertifikat. Tapi sistemnya masih menyisakan banyak tanya. Inilah yang kali ini saya bahas dalam tulisan pendek ini: Apakah kita sedang menstandarisasi pelayanan, atau malah menyingkirkan pengabdi yang tulus dan sudah terbukti teruji?

Antara Kewajiban dan Realitas

Sertifikasi pembimbing haji memang penting. Jamaah perlu bimbingan yang sahih, sistematis, dan profesional. Tapi kalau diselenggarakan terlalu formal, mahal, dan sentralistik, justru bisa menjadi ironi.

Dalam praktik di lapangan, kami menemukan setidaknya lima titik lemah dalam kebijakan yang berlaku saat ini:

● Tidak adanya skema relaksasi bagi kyai dan tokoh agama yang sudah berpengalaman.

● Biaya sertifikasi yang tinggi, jutaan rupiah.

● Materi pelatihan yang tumpang tindih, tidak baku dan belum seragam.

● Hanya satu penyelenggara dominan, yaitu PTKIN, yang sekaligus menjadi penjamin mutu.

● Sertifikat yang cepat kadaluarsa, dan untuk memperpanjangnya, harus ikut pelatihan ulang dari awal.

Saatnya Diperbaiki

AMPHURI bersama para praktisi dan akademisi telah menyusun naskah akademik revisi regulasi sertifikasi pembimbing haji. Salah satu poin utamanya adalah: berikan pengakuan atas pengalaman (recognition of prior learning/RPL) kepada para tokoh agama. Biarlah pengalaman itu bernilai. Jangan sampai kita menihilkan jasa hanya karena tak ada selembar sertifikat.

Kami juga mengusulkan agar:

● Materi pelatihan dibakukan secara nasional.

● Biaya sertifikasi dibuat berjenjang dan subsidi diberikan untuk yang berhak.

● Pelibatan ormas Islam dan LSP independen dibuka seluasnya, agar tidak terjadi kesan monopoli.

● Sistem perpanjangan sertifikat tidak memaksa ikut ulang, tetapi cukup melalui evaluasi berbasis portofolio.

Karena Pelayanan Jamaah Itu Amanah

Haji bukan sekadar ibadah. Ia adalah ibadah massal paling kompleks di dunia. Dibutuhkan pembimbing yang bukan cuma paham teori manasik, tapi juga kuat mental, sabar, dan memahami kultur jamaah. Dan itu, maaf, kadang tidak diajarkan di kelas pelatihan manapun.

Saya percaya, jika regulasi ini direvisi, maka kita akan menjaga mutu pembimbing haji, tanpa harus mengorbankan mereka yang selama ini sudah terbukti layak.

Sertifikasi tetap penting. Tapi harus manusiawi. Harus adil. Harus bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan alat pembatas. Dan di situlah tugas negara: mengatur dengan bijak, bukan hanya dengan tertib administratif.

Kyai itu akhirnya menghela napas. “Kalau negara mau bantu, kami ini siap terus berkhidmat. Tapi jangan juga dipersulit.”

Dan saya tahu, beliau mewakili suara yang selama ini mungkin tak sempat didengar.

Tulisan ini adalah bagian dari refleksi dan usulan atas revisi Peraturan Menteri Agama tentang sertifikasi pembimbing ibadah haji. Naskah akademik lengkap disusun dan disampaikan ke Kementerian Agama RI oleh AMPHURI.