insanimedia.id , – Rapat Paripurna DPR RI pada 24 Juli 2025 telah menetapkan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 sebagai usul inisiatif DPR. Rapat tersebut menjadi titik awal yang krusial dalam sejarah pengelolaan ibadah haji di Indonesia. Komisi VIII kini menanti Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pihak pemerintah, sebelum revisi ini dapat dibahas secara substansial.
Revisi ini bukan semata-mata soal normatif perundang-undangan. Revisi ini adalah bagian dari skenario besar transformasi tata kelola ibadah haji, dari dominasi administratif Kementerian Agama menuju penyelenggaraan yang dikelola oleh badan khusus: Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
Ide ini sudah lama bergulir dan terus menjadi aspirasi publik, terutama dari kalangan praktisi dan pengamat haji yang menghendaki layanan haji yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Namun pertanyaannya yang muncu sekarang adalah: apakah pemerintah siap secara kelembagaan, sistemik, dan regulatif? Apa saja DIM yang perlu diprioritaskan untuk diinventarisasi dan dibahas bersama DPR?
Memetakan DIM Strategis dalam Revisi UU Haji
Ada sejumlah isu strategis yang perlu masuk dalam DIM dan dibahas secara menyeluruh, antara lain:
1. Kelembagaan dan Wewenang
- Penegasan bentuk hukum BP Haji: Apakah berbadan hukum publik seperti BPKH, atau berbentuk lembaga independen lainnya?
- Otoritas BP Haji dalam pengambilan keputusan, pengelolaan operasional, hingga hubungan bilateral dengan pemerintah Arab Saudi.
- Alur transisi dari Kemenag ke BP Haji: bagaimana pengalihan SDM, aset, data, dan sistem informasi dilakukan secara bertahap dan terukur.
2. Akuntabilitas dan Pengawasan
- Mekanisme pengawasan publik dan parlemen terhadap BP Haji agar tetap dalam koridor transparansi.
- Keterlibatan masyarakat sipil, asosiasi penyelenggara haji (PPIU/PIHK), dan akademisi dalam fungsi check and balance.
3. Pelayanan dan Perlindungan Jemaah
- Penegasan standar minimum layanan (SML) jemaah haji, baik dari sisi akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pembimbingan.
- Tata cara penyelesaian sengketa, pengaduan, dan kompensasi layanan jika terjadi pelanggaran hak jemaah.
4. Pendanaan dan Efisiensi Biaya
- Model pembiayaan dan integrasi fungsi BP Haji dengan BPKH.
- Strategi efisiensi biaya haji agar lebih rasional dan terjangkau tanpa mengurangi kualitas layanan.
5. Roadmap Implementasi
- Jadwal transisi kelembagaan yang realistis dan tidak mengganggu layanan haji 2026.
- Skema mitigasi risiko apabila terjadi kekosongan fungsi atau tumpang tindih kewenangan.
Momentum Reformasi Tata Kelola
Pernyataan Anggota Komisi VIII DPR RI, Dini Rahmania, yang dikutip oleh media hari ini, bahwa “tidak boleh ada kekosongan fungsi, harus ada roadmap yang jelas,” patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa legislatif serius menjaga agar transformasi kelembagaan tidak menjadi sumber kekacauan layanan. Musim haji 2026 menjadi tolok ukur awal: apakah peralihan ini mampu menjamin pelayanan yang lebih rapi, cepat responsif, dan manusiawi?
Dengan reformasi tata kelola yang tepat, BP Haji diharapkan mampu memangkas antrean haji, menekan biaya, serta mengelola layanan secara lebih profesional. Kemenag pun dapat fokus pada peran strategisnya: pembinaan keagamaan, pendidikan madrasah, dan penguatan literasi keislaman.
Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu
Transformasi kelembagaan tidak boleh bersifat simbolik atau kosmetik. Ia harus menjawab persoalan laten penyelenggaraan haji: ketidakefisienan birokrasi, lemahnya koordinasi, hingga minimnya akuntabilitas layanan. Karenanya, DIM yang disusun pemerintah haruslah visioner namun tetap realistis, progresif namun tidak grusa-grusu, dan partisipatif, bukan elitis.
Indonesia tidak kekurangan regulasi, tetapi kerap lemah di sisi implementasi. Kini saatnya, pemerintah dan DPR bersama seluruh pemangku kepentingan menjadikan revisi UU Haji ini sebagai momentum emas transformasi tata kelola haji menuju pelayanan yang rahmatan lil ‘alamin.




