insanimedia.id – Perjalanan menuju Tanah Suci selalu dimulai dari niat baik. Namun, dalam konteks hukum baru penyelenggaraan ibadah umrah, niat baik saja tidak lagi cukup. Sebab, cara dan jalur pelaksanaannya kini memiliki konsekuensi hukum yang tegas.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah memperkenalkan norma penting yang perlu dicermati publik, terutama mereka yang aktif dalam kegiatan pengorganisasian keberangkatan jamaah. Salah satu pasal yang paling krusial adalah Pasal 124, yang berbunyi:
“Setiap orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran jemaah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau pidana denda paling banyak kategori VI.”
Pasal ini sekilas tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyimpan ketegasan hukum yang luar biasa. Frasa “setiap orang” dan “tanpa hak” membuka ruang penerapan yang luas: siapa pun, dalam bentuk apa pun, jika bukan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi, tidak berhak menyentuh dana jamaah.
Makna “Tanpa Hak” dan Cakupan Hukumnya
Secara normatif, “tanpa hak” dalam hukum pidana berarti tidak memiliki dasar kewenangan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, hanya PPIU yang memiliki izin resmi dari Kementerian Haji dan Umrah (dulu diatur oleh Kemenag) yang berwenang melakukan penghimpunan dana jamaah.
Segala bentuk aktivitas yang menyerupai, seperti mengumpulkan iuran keberangkatan, menampung dana lewat rekening pribadi, menjadi perantara pembayaran tiket, atau mengkoordinasi keberangkatan kelompok tanpa izin PPIU, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Dengan demikian, pihak yang berpotensi terkena pasal ini sangat luas:
1. Individu yang mengajak jamaah umrah secara kolektif,
2. Panitia pengajian yang membuka pendaftaran “rombongan umrah”,
3. Influencer atau ustadz publik figur yang menawarkan “umrah bareng”,
4. Biro wisata umum non-PPIU yang menjual paket umrah,
5. Hingga entitas digital seperti platform daring, maskapai, atau hotel yang memfasilitasi pembayaran langsung jamaah tanpa kontrak resmi dengan PPIU.
Pasal ini dapat menjerat semuanya, bila terbukti mengelola dana jamaah tanpa hak.
Pasal Perlindungan atau Pasal Penjerat?
Pasal 124 lahir bersamaan dengan Pasal 117, yang mengatur bahwa seluruh setoran jamaah umrah harus disalurkan melalui rekening resmi PPIU dan diawasi pemerintah. Tujuannya jelas: mencegah penipuan, kebocoran dana, dan kerugian jamaah.
Namun, pasal ini juga berpotensi menimbulkan salah tafsir bila tidak dipahami dengan benar. Misalnya, seseorang yang bermaksud membantu tetangganya mengurus tiket atau visa bisa saja tanpa sadar memasuki wilayah hukum yang dilarang.
Di sinilah pentingnya edukasi publik dan sosialisasi yang proporsional agar semangat perlindungan jamaah tidak berubah menjadi kriminalisasi yang berlebihan.
Implikasi terhadap Skema Umrah Mandiri
Isu “umrah mandiri” yang dilegalkan dalam UU ini sering menimbulkan kesalahpahaman. Banyak yang mengira bahwa legalisasi tersebut berarti kebebasan penuh bagi masyarakat untuk berangkat tanpa keterlibatan PPIU.
Padahal, “mandiri” dalam konteks hukum tidak berarti bebas dari regulasi.
Jika seseorang melaksanakan umrah untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan pihak lain, itu sah. Tetapi jika mulai mengajak, mengkoordinasi, atau memfasilitasi keberangkatan orang lain, maka peran itu sudah masuk ranah penyelenggaraan, yang diatur ketat dan harus berizin.
Oleh karena itu, bagi siapapun yang berinisiatif mengelola keberangkatan jamaah, perlu dipastikan memiliki izin PPIU yang sah. Sebab, antara “mengajak ibadah” dan “menyelenggarakan ibadah” dalam hukum, beda tipis tapi konsekuensinya besar.
Jalan ke Tanah Suci Ditempuh dengan Cara yang Suci
Dalam filosofi pelayanan ibadah, perlindungan jamaah adalah amanah negara. Pasal 124 memang keras, tapi ia lahir dari keinginan negara untuk melindungi rakyat dari praktik penipuan dan kecerobohan. Namun demikian, penegakan hukum harus dilakukan dengan cara yang proporsional dan berkeadilan, bukan dengan menakut-nakuti.
Maka, pesan bagi publik adalah: berangkatlah dengan niat suci dan jalur yang benar. Jangan mudah tergoda ajakan umrah “lebih murah” atau “lebih cepat”, apalagi bila dilakukan oleh pihak tanpa izin resmi. Sebab, dalam sistem hukum yang baru ini, dari tiket umrah, seseorang bisa berpindah cepat ke tiket masuk bui, jika salah langkah






